Sabtu, 13 April 2024

FORMULASI BOOKSPECTRAZ [KOMUNITAS DIGITAL REFLECTIVE BOOK~STORY TELLING]

Ditulis Oleh: Bookspectraz

    
Percaya nggak kalian kalau karya sastra secara praktis di dunia nyata itu bisa ngerubah jalan hidup seseorang dengan gangguan psikologi ke arah yang jauh lebih baik? Percaya juga nggak kalau karya sastra secara praktis bisa ngerubah dunia kita jadi tempat yang jauh lebih nyaman dan sehat buat dihuni oleh umat manusia di jaman yang makin ngedeketin era distopia dan perang Armagedon ini?

Pasti kalian yang nggak berlatar belakang sastra bakal bertanya-tanya, "Emangnya gimana caranya hal-hal abstrak kayak karya sastra gitu bisa ngerubah dunia? Yang orang awam tahu mah kalau mau bebas dari kelaparan ya makan nasi, kalau mau hidup serba cepat ya pakai teknologi, kalau mau nyembuhin sakit jiwa ya pergi klinik psikiatri!”

Ya, kami sebagai anak sastra tahu banget kalau karya sastra itu adalah produk pemikiran abstrak, yang nggak bisa dilihat, dicium, diraba, apalagi dimakan. Tapi, kalau kita tahu cara ngolah substansi abstrak itu jadi senyawa pemikiran bernilai tinggi, maka disinyalir kuat senyawa tersebut bakalan bisa jadi pencerah akal (kognitif), penyembuh gangguan psikologis (afektif), sekaligus pemompa adrenalin (psiko-motorik) manusia, lho! Kalau di dunia kedokteran, substansi karya sastra itu ibaratnya seperti multi-vitamin dan obat anti-depresant gitu, lah!

Kok bisa? Sejak kapan sastra ngejelma jadi ilmu kedokteran spesialis jiwa? Gini, kebanyakan orang awam di Indonesia tahunya cuma 'what to read' saat ngebaca semua jenis dirkusus tulisan (e.g. karya sastra, media massa). Jadi, yang mereka dapetin cuma informasi berupa fakta/opini/cerita yang dikemas dalam kata-kata doang. Nggak heran kalau mereka ngerasa nggak dapat hal berharga yang bisa ngerubah hidup mereka ke arah yang lebih baik sehabis baca buku/media massa. Itu lah faktor utama yang ngebuat karya sastra berefek seperti placebo alias obat yang nggak punya khasiat ajaib sama sekali.

Dalam kegiatan membaca, orang Indonesia cenderung ngelupain hal penting bernama 'how to read'. Maksudnya, saat membaca mereka lupa ngelakuin refleksi kehidupan atau lupa ngaitin materi yang mereka baca dengan realitas dunia mereka, baik itu di ranah pribadi, sosial, ataupun profesional. Nggak heran kalau mereka sulit buat ngevaluasi kehidupan mereka, apalagi mau nemuin ide-ide inovatif yang bisa ngerubah dunia seperti yang dilakuin oleh orang-orang Amerika semacam Bill Gates, Marc Zuckerberg, atau Steve Jobs. Hal tersebut terjadi karena sistem pendidikan kita belum benar-benar ngajarin cara membaca yang 'efektif dan efisien'. Maklum, budaya membaca di sekolah Indonesia mayoritas cuma buat ngejawab soal ujian doang. Nggak buat nyelesain masalah di kehidupan nyata.

Berbeda dengan kebiasaan di Indonesia, budaya membaca orang Amerika cenderung lebih reflektif. Soalnya, sistem pendidikan Amerika cenderung nekanin tugas reguler berbentuk reflective-reading, baik di level sekolah maupun kuliah. Jadi, tiap kali dapat tugas baca buku dari guru/dosennya, setiap siswa/mahasiswa harus nulis jurnal intelektual berbentuk annotation yang harus dilengkapi sama refleksi/kritik pribadi.

Melalui sistem pendidikan reflektif seperti itu, Amerika udah terbukti mampu ngelahirin SDM unggul berdaya nalar tinggi, inovatif, mandiri, serta percaya diri. Nggak heran kalau Amerika udah bisa pergi ke luar angkasa pakai teknologi roket NASA di saat kita masih bisa ngelihat langit dari bumi saja. Nggak kaget juga sih kalau Amerika sukses hampir di semua lini kehidupan sampai-sampai dijuluki sebagai negara superpower.

Trus apa sih bukti spesifik kalau karya sastra itu benar-benar bisa ngerubah manusia dan dunia ke arah yang lebih baik? Bukankah contoh materi bacaan dalam konteks pendidikan Amerika di atas berjenis buku akademik, bukan karya sastra ataupun tulisan kreatif?

Well, secara spesifik ada tiga contoh nyata dari tiga orang Amerika yang bisa ngebuktiin efektivitas dan efisiensi karya sastra secara praktis dalam realitas kehidupan manusia. Mereka adalah Benjamin Carson, Erin Gruwell, dan Oprah Winfrey. Siapa sih mereka bertiga? Dan gimana sih caranya karya sastra bisa ngerubah hidup mereka ka arah yang jauh lebih baik? Mari kita telaah bersama!

1) Benjamin Carson

Benjamin Carson (Benny) adalah seorang dokter bedah saraf jenius keturunan Afro-Amerika. Saat kecil, dia sering diejek sebagai murid terbodoh di sekolahnya karena sering dapat nilai jeblok. Ibu si Benny sendiri adalah seorang wanita miskin buta huruf, yang berprofesi sebagai tukang sapu di sebuah pabrik. Namun, ibunya itulah yang sebenarnya ngebentuk Benny jadi anak jenius.

Resep ajaib dibalik kesuksesan Benny adalah sang ibu selalu nugasin si Benny buat baca dua buku seminggu sekali di perpustakaan. Benny boleh baca buku apa pun yang dia suka, termasuk karya sastra fiksi berjudul The Lady & The Tiger. Setelah itu, sang ibu juga nyuruh si Benny buat nulis ulasan tentang buku-buku yang udah dibacanya tersebut dilengkapi dengan refleksi/kritik pribadinya. Lalu, ulasan reflektif tersebut wajib dipresentasiin secara lisan pada ibunya tiap akhir pekan. Dengan begitu, ibunya tersebut bisa tahu perkembangan pengetahuan, imajinasi, serta kemampuan berpikir kritis si Benny, sekaligus bisa terus secara konsisten memompa kepercayaan diri si Benny melalui kata-kata motivasi berbunyi, "You aren't meant to be a failure, Benny. You ain't dumb. You're a smart boy. You just ain't use that smartness." 

Secara kognitif, kebiasaan membaca buku disertai kegiatan reflective book story-telling, yang dibudayakan oleh ibunya sejak kecil itu, secara alami berhasil ngembangin daya nalar otak si Benny. Nggak heran kalau si Benny akhirnya berhasil jadi mahasiswa kedokteran di Yale University, salah satu kampus terbaik di Amerika Serikat. Bahkan dia sekarang udah sukses jadi salah satu dokter bedah saraf terjenius di dunia lho meskipun saat kecil sering dilabelin sebagai 'murid terbodoh' oleh teman-teman sekelasnya dan sering juga diremehin oleh kepala sekolah sekaligus supervisor-nya di rumah sakit tempatnya magang karena dia adalah seorang Afro-Amerika.

Dari segi afektif dan psiko-motorik, kebiasaan reflective-reading itu juga sukses ngebentuk karakter Benny jadi pria super sabar dan berjiwa sosial tinggi. Padahal, saat remaja dia sempat jadi pemuda egois bertemperamental tinggi, yang pernah hampir memukul ibunya sendiri pakai palu besi dan hampir ngebunuh teman sekolahnya, hanya karena masalah-masalah sepele.

Secara holistik, perkembangan karakter positif dalam diri Benny itu telah terbukti melalui pencapaian profesional dan sosialnya. Di luar karirnya sebagai dokter kelas dunia, dia juga ngediriin dua organisasi sosial non-profit (NGO) buat ngembangin kualitas masyarakat di sekitarnya, di antaranya: Carson Reading Club (perpustakaan umum) dan Carson Foundation (lembaga pemberi dana beasiswa bagi anak-anak Amerika berindeks prestasi akademik di atas rata-rata). Saking inspiring-nya, kisah nyata kehidupan Benjamin Carson bersama sang ibu sampai diabadiin dalam film biopic berjudul The Gifted Hands, lho!

2) Erin Gruwell

Erin Gruwell adalah seorang guru Bahasa Inggris revolusioner asal Amerika Serikat. Erin pernah dapat tugas ngajar di kelas sekelompok murid berandalan rasis berindeks prestasi rendah. Soalnya, semua guru di SMA tempatnya mengajar udah pada nggak sanggup ngebimbing anak-anak bebal berperangai buruk tersebut.

Ceritanya, murid-murid Erin itu nggak mau duduk sama murid lain yang beda ras saat di sekolah karena secara psikologis mereka merasa nggak aman. Soalnya, mereka sedang terjebak atau bahkan ikut terlibat aktif dalam konflik geng antar ras yang terjadi di sekitar lingkungan rumah mereka. Parahnya, hampir semua dari mereka nyaris jadi korban penembakan liar di jalanan.

Mindset murid-murid Erin itu dipengaruhi oleh kredo, yang lahir dari sejarah isu rasisme di Amerika Serikat berikut: “If you’re white, you’re right. If you’re brown, you’re stick around. If you’re black, you’re back.” Sejarahnya, orang kulit putih (Kaukasian) khususnya di bagian selatan merasa superior dalam segala hal. Orang kulit coklat (Hispanik) hanya dianggap makhluk kelas dua, yang stagnan alias hanya bisa jalan di tempat. Sedangkan orang kulit hitam (Afro-Amerika) dianggap sebagai makhluk berkasta rendah yang hanya pantas jadi budak. Nggak heran kalau prasangka rasial di kelas Erin itu juga sering memicu tawuran dan berpengaruh besar pada penurunan prestasi akademik murid-muridnya di sekolah.

Akhirnya, Erin pun bertekad ngelurusin mindset murid-muridnya itu melalui jalur sastra dalam proyek yang dia beri nama The Freedom Writers Diary. Melalui proyek tersebut, dia nugasin semua muridnya buat baca buku harian (memoar) legendaris berjudul The Diary of a Young Girl karya Anne Frank, seorang gadis Yahudi yang sedang berada dalam kejaran Nazi Jerman. Kisah nyata karya Anne Frank itu udah sukses menginspirasi dunia, termasuk murid-murid Erin, agar bisa lebih bersikap manusiawi pada sesamanya apa pun golongan rasnya.

Makanya, Erin juga nyuruh murid-muridnya itu buat nulis reflective-diary secara reguler seperti yang dilakuin oleh si Anne Frank. Mereka boleh nuangin segala keluh kesah mereka, termasuk kemarahan dan kebencian level kronis yang sedang menggerogoti hati mereka, ke dalam reflective-diary tersebut tanpa harus merasa takut di-judge negatif oleh orang lain. Reflective-diary tersebut harus dilaporin ke Erin secara berkala biar Erin bisa mahamin kondisi psikologis mereka, sekaligus biar bisa ngebantu mereka nemuin solusi terbaik buat nyelesesain masalah hidup mereka melalui dialektika.

Dari segi afektif dan psiko-motorik, tugas membaca karya sastra disertai penulisan reflective-diary itu akhirnya berhasil ngerubah mindset para murid rasis itu sehingga jadi SDM yang secara praktis jauh lebih toleran dan mau ngehargain perbedaan, sedangkan dari segi kognitif tugas itu berhasil naikin indeks prestasi akademik mereka di sekolah.

Secara holistik, Erin telah sukses ngarahin puluhan sampai ratusan anak didiknya itu buat jadi anggota masyarakat yang jauh lebih bermatabat dan bermanfaat, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi sesamanya. 

Nggak heran kalau metode pengajaran Erin, yang awalnya dinilai terlalu kontroversial dan sempat diboikot oleh para guru karena dianggap nentang sistem sekolah, pada akhirnya dipatenkan oleh salah satu negara bagian di Amerika Serikat, lho! Saking inspiring-nya, kisah nyata inspiratif Erin Gruwell bersama murid-muridnya itu juga sampai diabadiin dalam buku memoar berjudul The Freedom Writers Diary: How a Teacher and 150 Teens Used Writing to Change the World around Them. Buku memoar tersebut akhirnya juga diangkat ke film layar lebar bertajuk Freedom Writers, lho!

3) Oprah Winfrey

Oprah Winfrey adalah motivator Amerika tajir yang sukses banget lewat TV show-nya, The Oprah Winfrey Show. Dalam acara itu, dia sering ngelakuin refleksi kehidupan melalui buku-buku yang pernah dia baca. Dia senang banget ngulik beberapa paragraf penting dari buku-buku favoritnya, lalu ngaitin paragraf-paragraf itu sama fenomena-fenomena unik yang sedang jadi polemik di masyarakat atau sama pengalaman pribadinya sendiri.

Di salah satu episode, misalnya, Oprah ngebahas novel sastra berjudul The Color Purple karya Alice Walker, seorang penulis Afro-Amerika peraih penghargaan sastra tertinggi - Pulitzer Award. Novel itu bermakna banget bagi Oprah, yang sempat hidup di era saat sentimen rasisme pada orang kulit hitam masih kuat banget di daerah Mississipi. Selain itu, dia juga pernah ngalamin pelecehan seksual dari relative-nya sendiri seperti yang dialamin sama tokoh Celie dalam novel tersebut. Saat remaja, dia juga sempat dihamili sama pacarnya di luar nikah. Naasnya, kandungannya itu keguguran karena dia masih terlalu muda buat ngelewatin fase kehamilan saat itu.

Pengalaman kelam tersebut ngebuat Oprah ngalamin trauma psikologis. Nggak heran kalau dia ngerasa nggak bisa jadi sosok orang tua yang baik dan bertanggung jawab. Mungkin karena alasan itu lah dia nggak mau nikah dan nggak mau punya anak kandung seumur hidupnya.

Namun, kehadiran novel The Color Purple secara afektif dan psiko-motorik sukses nyembuhin dan nge-merdekain jiwanya yang selama ini 'terluka'. Kata-kata tokoh Celie dalam novel itu yang berbunyi, "Everything you've done to me, already done to you." berhasil mencerahin cara berpikir Oprah. Maksud dari kalimat itu adalah setiap perbuatan baik ataupun buruk yang kita lakuin pada orang lain suatu saat akan kembali pada diri kita sendiri.

Saking nge-fans-nya sama The Color Purple, Oprah sampai-sampai beli novel itu sebanyak puluhan eksemplar saat pertama kali diterbitin biar bisa dibagi-bagiin secara gratis pada orang-orang di sekitarnya. Nggak tanggung-tanggung, dia juga sampai berjuang mati-matian demi ikutan casting biar bisa meranin karakter Celie saat novel best-selling itu diangkat ke film layar lebar.

Dari proses refleksi sastra di atas, secara kognitif Oprah akhirnya berhasil ngeformulasiin pola kehidupan melalui analogi Hukum Newton 3 tentang kekekalan energi dalam ilmu fisika, yang berbunyi: "For every action, there is an opposite equal reaction." Sejak saat itu, dia sering ngebagi formula kehidupan tersebut buat menginspirasi jutaan orang Amerika di berbagai acara motivasi, biar mereka tetap semangat ngelakuin kebaikan meskipun dunia sedang nggak berpihak sama mereka.

Nggak heran juga kalau sampai usia tua Oprah makin getol jadi philantropist (penderma sosial), baik di Amerika maupun di tanah leluhurnya, Afrika, melalui program Oprah's Angel Network. Meskipun nggak punya anak kandung, dia udah ngadopsi banyak remaja cewek dari Afrika biar mereka bisa ngerasain pendidikan di universitas-universitas top Amerika semacam Harvard, Yale, Princeton, Stanford, dsb. Keren kan?

Dari ketiga contoh di atas, bisa kita simpulin kalau baca karya sastra melalui metode reflective-reading itu bisa mencerahin akal (kognitif), nguatin/nyembuhin mental (afektif), sekaligus ngelecut adrenalin/motivasi dalam diri manusia (psiko-motorik).

Emang sih nggak semua orang bisa jadi dokter atau ilmuwan NASA jenius dengan hanya baca karya sastra doang. Soalnya, yang namanya IQ (intelejensi) manusia itu termasuk perangkat alami bawaan sejak lahir alias udah ditentuin sama Tuhan, sang penguasa alam semesta.

Tapi, tenang aja buat kita yang terlahir dengan IQ pas-pasan. Kita tetap bisa ngeberdayain IQ bawaan kita itu kok buat ningkatin keahlian berpikir kritis, kreatif, dan inovatif melalui reflective-reading, yang bisa kita sesuain sama minat/bakat kita masing-masing. Dengan begitu, kita bisa nelurin ide yang bisa bawa manfaat buat kehidupan pribadi, sosial, maupun profesional. Syukur-syukur kalau dari proses refleksi itu kita bisa nemuin program Microsoft seperti yang dilakuin Bill Gates meskipun nggak pernah kuliah formal sama sekali.

Yang nggak kalah penting, melalui reflective-reading kita bisa ngembangin karakter sekaligus ngendaliin gejolak emosi kita yang sifatnya dinamis banget ini. Meskipun kita nggak terlahir dengan IQ jenius, setidaknya kita tetap bisa ngelatih sekaligus ningkatin kecerdasan sosial (SQ) dan emosional (EQ) kita. Jadi, kita bisa jadi manusia yang lebih toleran dan penuh belas kasih pada sesama manusia di dunia egosentris ini. Selain itu, kita juga nggak bakalan gampang depresi, gila, atau bahkan sampai bunuh diri kalau ekspektasi kita nggak sesuai dengan realita karena alur kehidupan ini memang serba nggak pasti polanya. Bakalan percuma dong eksistensi kejeniusan manusia dan kecanggihan teknologi di bumi ini kalau kualitas moral dan mental penghuninya secara universal terdegradasi.

Dari analisa ketiga kasus di atas, kami makin yakin kalau karya sastra punya manfaat besar buat ngembangin potensi umat manusia kalau diformulasiin melalui digital reflective book story-telling. Sesuai dengan cluster ilmunya, humaniora berarti ilmu kemanusiaan yang bervisi-misi buat majuin umat manusia, sehingga mereka bisa ngecapai esensi tertinggi dari kemanusiaan itu sendiri. Oleh karena itu, sebagai lulusan program studi sastra kami pengen berkontribusi aktif buat kemajuan peradaban umat manusia melalui pendirian komunitas digital rectlective book story-telling bernama Bookspectraz pada platform weblog www.bookspectraz.org.

Formulasi nama Bookspectraz sendiri kebentuk dari proses morfologis berjenis compounding dan affixation antara kata 'book' (buku), 'spektra' (spektrum pelangi), ditambahi dengan akhiran huruf 'z' (tanda generasi milenial). Dengan mengusung nama Bookspectraz, kami berharap bisa jadi agen literasi yang mampu ngebawa pencerahan buat umat manusia di era milenial berkekuatan digital ini.

Bookspectraz ngebangun markasnya di platform digital berformat weblog karena di era globalisasi ini kebanyakan orang Indonesia udah punya akses internet, khususnya di ponsel mereka. Jadi, mereka bisa ngakses informasi dari genggaman tangan saja. Biaya buat baca weblog di internet juga jauh lebih murah daripada buat ngakses video di YouTube atau buat beli satu buah buku. Menurut kami, weblog adalah media digital paling efektif dan efisien buat nyebarin ilmu pengetahuan.

Dari segi penyampaian, konten weblog Bookspektraz sengaja ditulis dalam bahasa colloquial (bahasa populer) biar bisa lebih dekat dengan realitas kehidupan nyata orang Indonesia, yang mayoritas bukan masyarakat ilmiah-akademis. Soalnya, Bookspectraz itu lebih mirip seperti 'universitas kehidupan', bukan 'universitas skolastik-akademik'. Selain itu, target utama pembaca sekaligus story-teller komunitas ini adalah remaja-dewasa berusia minimal 18 tahun. Jadi, nggak asyik dong kalau media komunikasinya terlalu formal dan kaku.

Secara spesifik, bentuk produk dari proses membaca karya sastra versi Bookspectraz cenderung lebih ngarah ke format reflective book story-telling daripada resensi ataupun kritik sastra (literary criticism). Reflective book story-telling ala Bookspectraz lebih luwes dan sedikit berbeda dengan analisa/kritik sastra ala universitas, yang cenderung bersifat akademis nan kaku. Reflective book story-telling adalah penceritaan ulang poin-poin penting/unik/kontroversial dalam buku yang udah dibaca secara kronologis serta dilengkapi dengan sebuah refleksi kehidupan dari sang pencerita (story-teller) di segmen re-orientasi-nya.

Dalam hal ini, substansi refleksi kehidupan pada reflective book story-telling versi Bookspectraz secara langsung dikaitin sama kehidupan nyata (e.g. pengalaman pribadi, fenomena nyata di sekitar), dan nggak dihubungin sama teori sastra. Dengan begitu, proses refleksi itu secara alami bisa lebih mudah menyugesti aspek kognitif, afektif, dan psiko-motorik dalam diri sang story-teller maupun para pembacanya melalui metode autonomous learning. Soalnya, proses refleksi tersebut nggak dibatasi atau nggak dikendaliin sama pemikiran/teori para pengkaji sastra seperti dalam theoretical framework pada penelitian ilmiah. Bukankah kajian 'substansi sastra' secara mendalam itu selalu bersifat 'subjektif-kualitatif'? Jadi, kebenaran analisanya selalu bernilai relatif meskipun bersifat ilmiah sekali pun. 

Dalam kehidupan nyata, kita seharusnya ngelihat 'pengalaman pribadi' sebagai 'spektrum dimensi', yang patut diperhitungkan sebagai sebuah fakta/kebenaran. Pendapat tersebut senada dengan esensi kata-kata Samanta Booke, seorang lawyer, aktivis pejuang hak-hak sipil, sekaligus mantan debater legendaris Afro-Amerika, yang berhasil matahin argumen-argumen para scholars kulit putih Harvard University secara telak dalam sebuah lomba debat intelektual bertajuk 'Is Civil Disobedience an Anarchy in the Fight for Justice?' Argumen fenomenalnya, yang diabadiin dalam film biopic (kisah nyata) berjudul The Great Debaters itu berbunyi, "Majority do not decide what is right and wrong, but your conscience does. So, why should our citizens surrender his/her conscience to a legislator. We must never ever kneel down before the tyranny of a majority!"

Setelah lulus kuliah sastra, kami berpendapat kalau jawaban dosen kami di kelas analisa sastra dulu nggak ada yang 'absolut' atau 'mutlak' kebenarannya. Dengan kata lain, di luar konteks akademis setiap penikmat sastra, baik yang bergelar sarjana sastra ataupun yang nggak kuliah sama sekali, berhak dan bebas buat nganalisa/ngomentari esensi karya sastra tanpa takut dinilai 'dangkal/ngawur/salah' oleh para peneliti (akademisi) di bidang sastra. Toh, para peneliti sastra jarang banget yang secara langsung dapat bocoran kunci jawaban dari para penulis karya sastra, yang sedang mereka teliti itu.

Dengan kata lain, esensi karya sastra dalam reflective book story-telling versi Bookspectraz itu nggak hanya sekedar jadi sebuah objek kajian studi yang nggak bernyawa, tapi lebih daripada itu sastra juga bisa ngejelma jadi seorang motivator, psikolog, sekaligus psikiater handal, yang mampu ngembimbing sekaligus ngerubah cara berpikir dan bertindak para pembacanya, seperti yang pernah dialamin sama si Benjamin Carson, Erin Gruwel, dan Oprah Winfrey.

Dari segi genre buku, Bookspectraz nggak ngebedain mana 'sastra serius' ala bangku kuliah dan mana 'sastra populer' yang sedang jadi trend dan best-selling di pasaran sana. Menurut Bookspectraz, semua jenis karya sastra itu setara dan punya manfaat yang bisa ngejawab masalah sosial yang terjadi di masyarakat. Contohnya, novel chicklit/teenlit, yang sering dipandang sebelah mata sama 'orang sastra', sebenarnya banyak lho yang esensinya nggak kalah 'berbobot' sama 'sastra serius'. Topik-topik tentang pencarian jati diri seorang remaja/wanita, per-bully-an di sekolah, perselingkuhan, perceraian, dan kekerasan dalam rumah tangga juga penting kan buat dibahas. Soalnya, banyak sekali remaja dan wanita dewasa yang ngalamin gangguan psikologis serius atau bahkan berakhir bunuh diri saat dihadepin sama isu-isu tersebut.

Oleh karena itu, Bookspectraz bakalan nerbitin reflective story-telling, baik fiksi maupun non-fiksi dari genre 'sastra serius' dan 'sastra populer', secara seimbang dan disesuain sama idealisme (ideologi) yang diusung oleh Bookspectraz secara eksklusif. Secara spesifik, Bookspektraz bakal ngebahas buku ber-genre memoar (biografi/autobiografi), psikologi populer (tips), travelling (diary), fiksi inspirasi (family literature), fiksi ilmiah (STEM), fantasi (futuristik distopia), sastra psikologi (pzy-thriller), sastra sos-pol-bud (sosial/politik/budaya), dan chicklit (metropop) setiap seminggu sekali secara bergantian sesuai jadwal.

Jadwal update dan diskusi reflective book story-telling di weblog Bookspectraz (www.bookspectraz.org) adalah setiap hari Minggu jam 9 – 10 pagi. Biar para followers aktif maupun pasif di dunia maya nggak ketinggalan update mingguan-nya, Bookspectraz juga bakalan ngebagi tautan reflective story-telling dari weblog melalui sosial media resminya, di antaranya, Facebook Page: Bookspectraz (Digital Reflective Book Story~Telling Club), Instagram: @bookspectraz, atau Twitter @Bookspectraz.

Secara umum, tujuan Bookspectraz ngeresepin reflective book story-telling pada masyarakat adalah buat ngeharmonisin otak dan jiwa mereka biar bisa bersinergi secara seimbang, sehingga mereka bisa lebih bersemangat positif, kuat, sehat, dan cerdas buat ngejalanin kehidupan yang penuh liku terjal seperti para Gladers di novel fiksi ilmiah neurosains - The Maze Runners karya James Dashner ini.

Kalau dari segi kognitif, afektif, dan psiko-motorik manusia udah terpelihara dengan baik, mereka bakalan lebih gampang ngelahirin ide-ide inovatif-kreatif buat nyelesain masalah duniawi secara efektif dan efisien. Selain itu, otak mereka bakalan tersuntik spektrum pelangi saat ngenilai fenomena-fenomena sosial, budaya, politik, yang sedang terjadi di masyarakat. Dengan demikian, umat manusia bisa termotivasi buat jadi SDM yang nggak gampang marah, ngehujat, ngutuk, atau yang paling parah sampai nge-marjinalin dan ngebunuh orang lain saat terjadi polemik di masyarakat. Padahal kita tahu kan kalau nggak ada satu pun manusia yang sempurna di dunia ini. Jadi, kita perlu ngelihat bayangan abu-abu saat mau nge-judge orang lain pakai kacamata hitam-putih.

Well, itu lah dasar formulasi pendirian komunitas digital reflective book-story telling bertajuk Bookspectraz ini. Jadi, bagi kalian yang sepemikiran sekaligus sevisi dan semisi dengan kami, jangan ragu buat jadi Kontributor Tamu Bookspectraz, baik sebagai Reflective Story-Teller (RST) maupun Insightful Commentator (IC) Bookspectraz. Setiap bulan, satu orang RST dan satu orang IC terbaik bakalan dapat Sertifikat Penghargaan Digital plus Doorprize Buku lho! Kalau kalian tertarik, silahkan meng-click tautan (link) biru berikut ini buat baca prosedur lengkap jadi Kontributor Tamu mingguan Bookspectraz 👉 (Link: Prosedur Jadi Kontributor Tamu Bookspectraz). 

So, tunggu apa lagi? Ayo gabung sama kami! Mari bersinergi buat nyuksesin gerakan literasi di bumi pertiwi! Let's be the light for Indonesian minds in this century! 😘📚😘


Salam Literasi,

Bookspectraz        

VISI & MISI BOOKSPECTRAZ [KOMUNITAS DIGITAL REFLECTIVE BOOK STORY~TELLING]

Ditulis Oleh: Bookspectraz

    
Pada dasarnya, semua hal di Galaksi Bimasakti ini, termasuk partikel-partikel terkecil sejenis atom maupun makhluk uni-seluler  semacam amoeba, diciptain oleh Tuhan di alam semesta ini buat ngebawa visi-misi khusus lho biar eksistensinya di dunia nggak sia-sia.

Jadi, sebagai mamalia multi-seluler yang berakal budi, nggak rasional dong kalau kami, para founding ladies penggerak Bookspectraz ini, nggak ngusung visi-misi juga buat planet biru tercinta kita ini.

Ibarat setetes air yang dirinduin para musafir di padang pasir dan sebutir beras yang dinantiin para pekerja keras di ladang meranggas, Bookspectraz pun pengen jadi pelangi seusai badai di pagi hari sekaligus jadi bintang penerang di kala petang. Melalui guratan aksara dalam karya sastra, Bookspectraz berniat buat nerangin langit Indonesia yang kian meredup ini melalui visi-misi berikut:

Literacy Development

Ningkatin minat baca dan tulis masyarakat Indonesia secara umum dan mahasiswa sastra secara khusus melalui metode digital reflective story-telling, sehingga Bookspectraz bisa ngebantu Indonesia buat ngerevolusi SDM-nya, yang masih tergolong ‘lazy & illiterate society’, biar bisa jadi 'literate society’ seperti peradaban masyarakat di negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat;

Cognitive & Creative Developments

Ningkatin daya nalar (IQ) dan kreatifitas masyarakat Indonesia secara umum dan mahasiswa sastra secara khusus melalui literasi, sehingga terlahir SDM unggul yang mampu ngehasilin produk-produk praktis hasil inovasi berpikir kritis-kreatif buat memperbaikin kualitas hidup di ranah pribadi, sosial, ataupun profesional;

EQ & SQ Develompments

Ningkatin kematangan berpikir jernih dan sehat (EQ & SQ) masyarakat Indonesia secara umum dan mahasiswa sastra secara khusus melalui literasi, sehingga terlahir SDM unggul, yang mampu ngebentuk sebuah masyarakat plural yang lebih harmonis dan toleran, serta mampu nyelesain banyak masalah (konflik) dalam kehidupan pribadi, sosial, ataupun profesional;

Creative Writing Development

Ningkatin keahlian menulis kreatif para mahasiswa sastra secara khusus dan para penggiat sastra di Indonesia secara umum sehingga terlahir lebih banyak generasi penulis baru berkualitas yang produktif di era milenial ini biar produk-produk dunia hiburan di Indonesia bisa berbobot seperti karya para seniman di Hollywood;

Digital University of Life Development

Ngebentuk sebuah universitas kehidupan digital gratis buat masyarakat Indonesia secara umum dan mahasiswa sastra secara khusus, sehingga inspirasi dan pengetahuan dari karya sastra nggak berhenti secara eksklusif di dalam universitas saja, tapi juga bisa dinikmatin sama semua orang, khususnya masyarakat awam yang nggak mampu beli buku, atau yang nggak punya banyak waktu luang buat baca buku karena menjadi seorang terpelajar secara mandiri adalah hak asasi mendasar bagi setiap umat manusia;

Book Recommendation

Ngerekomendasiin buku-buku keren/unik/inspiratif bagi para pecinta buku dan sastra biar cakrawala pemikiran mereka semakin terbentang luas dengan asupan ide-ide berkualitas.

Networking Expansion for Book/Literature Lovers

Ngeluasin networking dengan para pecinta buku dan sastra yang ada di Indonesia dan di negara-negara lain seperti di film chick-flick berjudul ‘The Jane Austen Book Club’, sehingga mereka bisa saling bertukar pikiran buat berbagi inspirasi dan motivasi kehidupan atas nama cinta melalui diskusi karya sastra;

Digital Literary Appreciation

Jadi media online terbesar buat ngeapresiasi sekaligus ngepromosiin buku/novel terbitan lama/baru karya para penulis buku indie maupun mayor sehingga mereka lebih terlecut buat terus ngelahirin karya-karya sastra berkualitas tinggi penuh inspirasi.

Itulah ketujuh visi-misi utama yang bakal diperjuangin oleh kami, para leading ladies pejuang literasi di komunitas Bookspectraz ini. Senada dengan slogan kerja kami, "Lux et Litteratura: Seumur hidup bercerita menerangi dunia!"

Jadi, bagi kalian yang sepemikiran sekaligus sevisi dan semisi dengan kami, jangan ragu buat jadi Kontributor Tamu, baik sebagai Reflective Story-Teller (RST) maupun Insightful Commentator (IC) Bookspectraz. Setiap bulan, satu orang RST dan satu orang IC terbaik bakalan dapat Sertifikat Penghargaan Digital plus Doorprize Buku lho! Kalau kalian tertarik, silahkan meng-click tautan (link) biru berikut ini buat baca prosedur lengkap jadi Kontributor Tamu mingguan Bookspectraz ðŸ‘‰(Link: Prosedur Jadi Kontributor Tamu Bookspectraz). 

So, tunggu apa lagi? Ayo gabung sama kami! Mari bersinergi buat nyuksesin gerakan literasi di bumi pertiwi! Let's be the light for Indonesian minds in this century! ðŸ˜˜ðŸ“šðŸ˜˜


FILOSOFI MASKOT & LOGO BOOKSPECTRAZ [KOMUNITAS DIGITAL REFLECTIVE BOOK STORY~TELLING]

 Ditulis Oleh: Bookspectraz

Sistem kerja Bookspectraz terinspirasi konsep dunia lebah dalam novel sastra berjudul The Secret Life of Bees karya Sue Monk Kidd. Dari novel inspiratif, yang nyeritain tentang kehidupan keluarga Afro-Amerika peternak lebah madu itu lah, Founder Bookspectraz tersadar kalau secara alami sistem pemerintahan dunia lebah itu dipimpin oleh seekor lebah betina bergelar Queen Bee alias ratu lebah.

Dengan kata lain, lebah dalam novel The Secret Life of Bees itu merupakan simbol dari seorang perempuan feminis. Soalnya, peternakan lebah itu diolah oleh empat bersaudara keturunan Afro-Amerika, yang kesemuanya berjenis kelamin perempuan.

Oleh karena itu, Bookspectraz mutusin buat ngedesain maskot dan logo komunitasnya pakai konsep dunia insekta dari sub-kelas endopterygota (bermetamorfosis sempurna) dan ber-ordo hymnenoptera (bersayap selaput) itu. Soalnya, pendiri dan para penggerak sistem Bookspectraz itu adalah sekawanan perempuan feminis idealis yang pengen ngerubah dunia melalui jalur literasi.  

Trus apa sih makna semiotika dibalik logo dan maskot Bookspectraz yang desain grafisnya berbentuk lebah cewek beranatomi cantik, imut-imut, berspektrum pelangi, tapi tetap bermuatan filosofi tinggi layaknya Miss Universe dengan slogan kerja ‘Brain, Beauty, & Behaviour' ini? Yuk, kita kupas satu persatu biar tahu jati diri maskot lebah cewek kita yang seksi, cerdas, dan baik hati ini.

1) Maskot Bookspectraz

 Maskot Bookspectraz adalah seekor lebah Asia cewek bernama B~Babez. Ceritanya, si B~Babez udah ngalamin mutasi genetika saat ngejelajahin benua Amerika. Nggak heran kalau warna garis di bagian abdomen-nya nggak lagi warna kuning-hitam, tapi justru berspektrum pelangi. Dari segi kejeniusan otak, si B~Babez setara lah sama sosok Jeane, mutan cewek terkuat, murid kesayangan Professor Xavier si pengendali Cerebro Room di film fiksi ilmiah adaptasi komik Amerika terbitan DC berjudul X-Men.

Bookspectraz sengaja nggak pakai istilah Queen Bee buat nyebut maskot lebah ceweknya. Soalnya, menurut Bookspectraz kepemimpinan dunia lebah di alam terbuka itu secara ilmiah dipimpin oleh seekor ratu lebah diktator bergaya kepemimpinan monarki absolut. Makanya, Bookspectraz nyiptain karakter lebah bernama B~Babez melalui pendekatan fiksi ilmiah demi ngelahirin sosok pemimpin perempuan baru, yang lebih demokratis, revolusioner, penuh belas kasih, dan ngejunjung tinggi kesetaraan jender seperti seorang first lady di negara-negara demokrasi.  

Nama 'B~Babez' sendiri secara morfologis kebentuk dari proses partial compounding antara huruf 'B' dan kata 'Babez'Huruf 'B' adalah singkatan dari kata Bookspektraz. Dalam hal ini, huruf 'B' tersebut dieja pakai pronunciation Bahasa Inggris /bi:/. Selain itu, huruf 'B' itu juga dijadiin slang buat ngodifikasi kata lebah dalam Bahasa Inggris 'bee'. Sementara kata 'Babez' fungsinya seperti term of endearment yang biasa dipakai sama orang Amerika buat nyebut orang terkasih. Trus huruf 'z' di akhir kata 'Babez' itu berfungsi sebagai plural-marking terbaru di era milenial sekaligus penanda era milenial itu sendiri alias 'Generasi Z', yang lahir setelah era moderen tahap pertama (Generasi X) dan tahap kedua (Generazi Y).

Secara literal, B~Babez artinya adalah perempuan-perempuan kesayangan Bookspectraz karena mereka udah ngorbanin waktu, pikiran, dan tenaga mereka buat melihara sekaligus ngebesarin komunitas Bookspectraz. Nggak heran kalau antara kata 'B' dan 'Babez' dihubungin oleh tanda unlimited (~). Soalnya, kalau para perempuan udah bersinergi mereka bakalan bisa ngeraih lebih banyak prestasi tanpa terhalang masalah jender.

B~Babez bawa lampu di tangan kanannya serta buku di tangan kirinya. Dengan kata lain, B~Babez pengen jadi lentera penerang Indonesia setelah sekian lama jadi seorang pembelajar kehidupan di negara superpower Amerika, sehingga para B~Readerz alias pembaca setia weblog Bookspectraz bisa dapat pencerahan, baik dalam hal berpikir maupun bertindak. Dengan demikian, mereka diharapin bisa menemukan inspirasi atau ide-ide kreatif-inovatif buat nyiptain penemuan/inovasi terbaru di bidang tertentu, sekaligus buat nyelesain suatu permasalahan atau konflik yang sedang terjadi dalam kehidupan pribadi, sosial, dan profesional mereka.

2) Logo Bookspectraz

Logo Bookspectraz berbentuk sebuah Bumble Bee (sarang lebah) bekerangka segi enam dan di dalamnya berisi sebuah buku, pena warna-warni, lampu, bintang, disertai tagline berbahasa Latin berbunyi 'Relativum et Veritas'. Adapun makna semiotika dibalik logo Bookspectraz secara holistik dijabarin sebagai berikut:

Bumble Bee

Bumble Bee adalah sarang lebah madu mutan yang juga nge-representasiin bentuk dan cara kerja otak B~Babez. Di bawah komando B~Babez, para lebah pekerja mampu ngebangun sarang komunitas mereka di dunia digital dengan desain warna dan tema artistik berspektrum pelangi.

Selain itu, mereka juga bahu-membahu buat ngisi konten weblog Bookspectraz (www.bookspectraz.org) dengan asupan reflective story-telling berkualitas, yang diserap dari berbagai macam buku/novel bertema keren/unik/inspiratif. Jadi, reflective story-telling itu ibaratnya seperti madu sintesis, yang bisa jadi sumber makanan berbentuk ilmu pengetahuan sekaligus multivitamin berbentuk inspirasi yang bisa nyehatin cara berpikir dan bertindak para pembacanya.

Warna pelangi pada kerangka Bumble Bee adalah simbol madu sintensis yang dikumpulin oleh B~Babez dan berhasil diformulasiin jadi senyawa bersubstansi tinggi berbentuk inspirasi. Dengan kata lain, setelah ngekonsumsi reflective story-telling dari weblog Bookspectraz, otak para B~Readerz bakalan tersuntik spektrum pelangi, sehingga mereka bisa ngelihat dunia ini dari sudut pandang berwarna-warni bukan hanya hitam-putih. Sama halnya seperti mata lebah yang anatominya ber-faset alias multi-dimensi.

Selain itu, Bumble Bee juga dipakai buat nyebut Kantor Kepresidenan dan Rapat Redaksi Bookspectraz secara resmi.  Soalnya, kalau sedang rapat buat nulis, nyeleksi, sama ngedit reflective story-telling sekaligus ngerekrut para calon kontributor dan donatur, B~Babez pasti heboh banget seperti busy bee yang sedang ngumpulin madu di sarangnya gitu, deh!

Buku Berlembar Warna-Warni

Buku besar dengan lembar halaman warna-warni dalam Bumble Bee adalah simbol dari sumber ilmu pengetahuan dan inspirasi yang nggak terbatas. Buku tersebut nggak hanya bisa ngembangin daya nalar, inovasi, dan kreativitas otak manusia, tapi juga bisa ningkatin level kejernihan/kesehatan pikiran mereka kalau berhasil diolah secara efektif dan efisien.

Pena Warna-Warni

Pena adalah simbol pengikat ilmu pengetahuan karena cara terbaik belajar dari buku adalah dengan mencatatnya. Nggak heran kalau Bookspectraz selalu nyatet sekaligus ngerangkai poin-poin penting, unik, dan inspiratif secara kronologis dilengkapi dengan refleksi kehidupan seusai baca buku. Dengan begitu, karya sastra nggak hanya jadi objek kajian studi yang nggak bernyawa, tapi juga bisa ngejelma jadi motivator, psikolog, dan psikiater handal, yang mampu ngembimbing sekaligus ngerubah cara berpikir dan bertindak para pembacanya.

Warna pelangi dari pena merupakan simbol pluralisme. Jadi, para Reflective Story-Teller dan Insightful Commentator nggak perlu merasa inferior alias minder buat nulis dan ngungkapin opini/ide dari sebuah karya sastra. Menurut Bookspectraz, nggak ada pilihan atau pandangan hidup manusia yang nilai kebenarannya bersifat absolut di mata dunia karena dunia ini diciptain sama Tuhan dengan berbagai macam variasi budaya, bahasa, ras, dsb. Hanya manusia diktator psikopat semacam Adolf Hitler atau Osama Bin Laden lah yang suka maksain kehendakknya buat jadi absolute ruler melalui aksi genosida/terorisme demi nuntuin siapa yang paling superior di dunia.

Bintang

Bintang adalah satu-satunya simbol objek langit yang mampu mancarin cahayanya sendiri di malam hari. Jadi, bintang adalah simbol buat negasin kalau Bookspectraz mampu memberi cahaya pengetahuan baru meskipun masyarakat di sekitar masih banyak yang berpikiran mainstream karena masih terkungkung sama norma/budaya lama yang hanya diwarisin sekaligus diterima secara turun-temurun tanpa ada proses peninjauan ulang meskipun jaman udah bergerak maju bersama perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi moderen yang super canggih.

Menurut Thomas Paine, salah satu bapak bangsa Amerika Serikat, semua orang seharusnya mempertanyain kebenaran dari suatu ide meskipun ide tersebut udah lama diyakini kebenarannya oleh masyarakat. Kalau saja Thomas Paine nggak pernah nulis sebuah phamlet berjudul Common Sense buat ngritik pemerintah Inggris, mungkin sekarang nggak bakalan pernah lahir negara superpower bernama Amerika, yang merdeka dan berdemokrasi. Soalnya, rakyatnya masih terdikte oleh pemerintah Inggris yang ngerasa paling benar dan ideal buat ngebentuk sebuah sistem dalam masyarakat.

Kalau saja R.A. Kartini nggak pernah nulis buku harian berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang, mungkin kaum perempuan di Jawa sekarang nggak bakalan kenal sama ide renaissance alias pencerahan bernama feminisme, sehingga mereka tetap ngeyakinin kredo lama yang negasin kalau perempuan itu hanya pantas jadi manusia kelas dua dalam masyarakat patriarki. So, masyarakat bakalan tetap yakin kalau kaum wanita itu hanya ditakdirin buat 3M (Merias Diri, Memasak, Melahirkan) dan dianggap nggak kompeten buat sekolah dan berkarir setinggi-tingginya.

Oleh karena itu, Bookspectraz pengen ngajak masyarakat buat mempertanyain atau meninjau ulang norma/budaya mainstream yang selama ini masih dianggap sebagai dewa dalam tatanan masyarakat.

Tagline: 'Relativum et Veritas'

Terinspirasi motto Harvard University yang berbunyi ‘Veritas’, maka Bookspectraz pun mutusin buat ngeformulasiin tagline organisasinya melalui frase revolusioner bertajuk 'Relativum et Veritas’ biar cara berpikirnya bisa seperti para scholar universtas top kelas dunia meskipun dikemas dalam gaya bahasa populer bukan ilmiah akademis.

Secara harfiah'Relativum et Veritas’ adalah frase berbahasa Latin yang berarti 'The Relativity & Truth' atau 'Kerelativitasan & Kebenaran'. Dalam hal ini, Bookspectraz pengen menguak sebuah kebenaran dari sudut pandang baru yang nggak mainstream. Jadi, B~Babez dan para Kontributor Bookspectraz nggak perlu takut dicela oleh orang lain saat nyuarain opini/idenya dalam refleksi kehidupan asalkan opini/ide mereka ditulis secara rasional, tapi tetap ngejunjung tinggi etika kesopanan.

Kita harus sadar kalau perbedaan sudut pandang di dunia ini adalah sebuah keniscayaan yang nggak bakal pernah bisa dihindari. Jadi, hasil interpretasi dari nilai-nilai kebenaran itu seringkali bersifat relatif dan nggak bisa jadi keabsolutan bagi semua golongan manusia. Buktinya, penelitian ilmiah kuantitatif pun hanya bisa ngukur populasi (sampel) terbatas/tertentu saja, yang hasilnya bahkan nggak bisa buat ngewakilin pandangan seluruh umat manusia di dunia.

Gimana? Semiotika maskot Bookspectraz alias B~Babez, yang beranatomi imut-imut super seksi, berfilosofi tinggi kan? Makanya, bagi kalian yang sepemikiran sekaligus sevisi dan semisi dengan kami, jangan ragu buat jadi kontributor, baik sebagai seorang Reflective Story-Teller maupun Insightful Commentator mingguan Bookspectraz. Satu orang Reflective Story-Teller dan satu orang Insightful Commentator bakalan dapat Sertifikat Penghargaan Digital plus Doorprize Buku lho setiap bulannya! Kalau kalian tertarik, silahkan meng-click tautan (link) biru berikut ini buat baca prosedur lengkap jadi Kontributor Tamu mingguan Bookspectraz 👉 (Link: Prosedur Jadi Kontributor Tamu Bookspectraz).

So, tunggu apalagi? Ayo gabung sama kami! Mari bersinergi buat nyuksesin gerakan literasi di bumi pertiwi. Let's be the light for Indonesian minds in this century! ðŸ˜˜ðŸ“šðŸ˜˜


Salam Literasi,

Bookspectraz