Ditulis Oleh: Bookspectraz
Pasti kalian yang nggak
berlatar belakang sastra bakal bertanya-tanya, "Emangnya gimana caranya hal-hal abstrak kayak karya sastra gitu
bisa ngerubah dunia? Yang orang awam tahu mah kalau mau bebas dari kelaparan ya
makan nasi, kalau mau hidup serba cepat ya pakai teknologi, kalau mau nyembuhin
sakit jiwa ya pergi klinik psikiatri!”
Ya, kami sebagai anak
sastra tahu banget kalau karya sastra itu adalah produk pemikiran abstrak, yang
nggak bisa dilihat, dicium, diraba, apalagi dimakan. Tapi, kalau kita tahu cara
ngolah substansi abstrak itu jadi senyawa pemikiran bernilai tinggi, maka
disinyalir kuat senyawa tersebut bakalan bisa jadi pencerah akal (kognitif), penyembuh gangguan psikologis (afektif), sekaligus pemompa adrenalin (psiko-motorik) manusia, lho! Kalau di dunia
kedokteran, substansi karya sastra itu ibaratnya seperti multi-vitamin dan obat
anti-depresant gitu, lah!
Kok bisa? Sejak kapan
sastra ngejelma jadi ilmu kedokteran spesialis jiwa? Gini, kebanyakan orang
awam di Indonesia tahunya cuma 'what to
read' saat ngebaca semua jenis dirkusus tulisan (e.g. karya sastra, media massa). Jadi, yang mereka dapetin cuma
informasi berupa fakta/opini/cerita yang dikemas dalam kata-kata doang. Nggak
heran kalau mereka ngerasa nggak dapat hal berharga yang bisa ngerubah hidup
mereka ke arah yang lebih baik sehabis baca buku/media massa. Itu lah faktor
utama yang ngebuat karya sastra berefek seperti placebo alias obat yang nggak punya khasiat ajaib sama sekali.
Dalam kegiatan membaca,
orang Indonesia cenderung ngelupain hal penting bernama 'how to read'. Maksudnya, saat membaca mereka lupa ngelakuin
refleksi kehidupan atau lupa ngaitin materi yang mereka baca dengan realitas
dunia mereka, baik itu di ranah pribadi, sosial, ataupun profesional. Nggak
heran kalau mereka sulit buat ngevaluasi kehidupan mereka, apalagi mau nemuin
ide-ide inovatif yang bisa ngerubah dunia seperti yang dilakuin oleh orang-orang Amerika semacam Bill Gates, Marc Zuckerberg, atau Steve Jobs. Hal
tersebut terjadi karena sistem pendidikan kita belum benar-benar ngajarin cara
membaca yang 'efektif dan efisien'.
Maklum, budaya membaca di sekolah Indonesia mayoritas cuma buat ngejawab soal
ujian doang. Nggak buat nyelesain masalah di kehidupan nyata.
Berbeda dengan kebiasaan
di Indonesia, budaya membaca orang Amerika cenderung lebih reflektif. Soalnya,
sistem pendidikan Amerika cenderung nekanin tugas reguler berbentuk reflective-reading, baik di level
sekolah maupun kuliah. Jadi, tiap kali dapat tugas baca buku dari guru/dosennya,
setiap siswa/mahasiswa harus nulis jurnal intelektual berbentuk annotation yang harus dilengkapi sama
refleksi/kritik pribadi.
Melalui sistem pendidikan
reflektif seperti itu, Amerika udah terbukti mampu ngelahirin SDM unggul
berdaya nalar tinggi, inovatif, mandiri, serta percaya diri. Nggak heran kalau
Amerika udah bisa pergi ke luar angkasa pakai teknologi roket NASA di saat kita
masih bisa ngelihat langit dari bumi saja. Nggak kaget juga sih kalau Amerika
sukses hampir di semua lini kehidupan sampai-sampai dijuluki sebagai negara superpower.
Trus apa sih bukti spesifik
kalau karya sastra itu benar-benar bisa ngerubah manusia dan dunia ke arah yang
lebih baik? Bukankah contoh materi bacaan dalam konteks pendidikan Amerika di
atas berjenis buku akademik, bukan karya sastra ataupun tulisan kreatif?
Well, secara spesifik ada tiga contoh nyata dari tiga orang Amerika
yang bisa ngebuktiin efektivitas dan efisiensi karya sastra secara praktis
dalam realitas kehidupan manusia. Mereka adalah Benjamin Carson, Erin Gruwell,
dan Oprah Winfrey. Siapa sih mereka bertiga? Dan gimana sih caranya karya
sastra bisa ngerubah hidup mereka ka arah yang jauh lebih baik? Mari kita telaah bersama!
1) Benjamin Carson
Benjamin Carson (Benny) adalah seorang
dokter bedah saraf jenius keturunan Afro-Amerika. Saat kecil, dia sering diejek
sebagai murid terbodoh di sekolahnya karena sering dapat nilai jeblok. Ibu si
Benny sendiri adalah seorang wanita miskin buta huruf, yang berprofesi sebagai
tukang sapu di sebuah pabrik. Namun, ibunya itulah yang sebenarnya ngebentuk
Benny jadi anak jenius.
Resep ajaib dibalik kesuksesan Benny adalah sang
ibu selalu nugasin si Benny buat baca dua buku seminggu sekali di perpustakaan.
Benny boleh baca buku apa pun yang dia suka, termasuk karya sastra fiksi
berjudul The Lady & The Tiger.
Setelah itu, sang ibu juga nyuruh si Benny buat nulis ulasan tentang buku-buku
yang udah dibacanya tersebut dilengkapi dengan refleksi/kritik pribadinya.
Lalu, ulasan reflektif tersebut wajib dipresentasiin secara lisan pada ibunya
tiap akhir pekan. Dengan begitu, ibunya tersebut bisa tahu perkembangan pengetahuan, imajinasi, serta kemampuan berpikir kritis si Benny, sekaligus bisa terus secara konsisten memompa kepercayaan diri si Benny melalui kata-kata motivasi berbunyi, "You aren't meant to be a failure, Benny. You ain't dumb. You're a smart boy. You just ain't use that smartness."
Secara kognitif, kebiasaan membaca buku disertai kegiatan reflective book story-telling, yang
dibudayakan oleh ibunya sejak kecil itu, secara alami berhasil ngembangin daya
nalar otak si Benny. Nggak heran kalau si Benny akhirnya berhasil jadi
mahasiswa kedokteran di Yale University, salah satu kampus terbaik di Amerika
Serikat. Bahkan dia sekarang udah sukses jadi salah satu dokter bedah saraf
terjenius di dunia lho meskipun saat kecil sering dilabelin sebagai 'murid
terbodoh' oleh teman-teman sekelasnya dan sering juga diremehin oleh kepala
sekolah sekaligus supervisor-nya di
rumah sakit tempatnya magang karena dia adalah seorang Afro-Amerika.
Dari segi afektif dan psiko-motorik, kebiasaan reflective-reading itu juga sukses
ngebentuk karakter Benny jadi pria super sabar
dan berjiwa sosial tinggi. Padahal, saat remaja dia sempat jadi pemuda egois bertemperamental
tinggi, yang pernah hampir memukul ibunya sendiri pakai palu besi dan hampir ngebunuh
teman sekolahnya, hanya karena masalah-masalah sepele.
Secara holistik, perkembangan karakter positif dalam diri Benny itu
telah terbukti melalui pencapaian profesional dan sosialnya. Di luar karirnya
sebagai dokter kelas dunia, dia juga ngediriin dua organisasi sosial non-profit
(NGO) buat ngembangin kualitas masyarakat di sekitarnya, di antaranya: Carson Reading Club (perpustakaan umum)
dan Carson Foundation (lembaga
pemberi dana beasiswa bagi anak-anak Amerika berindeks prestasi akademik di
atas rata-rata). Saking inspiring-nya,
kisah nyata kehidupan Benjamin Carson bersama sang ibu sampai diabadiin dalam
film biopic berjudul The
Gifted Hands, lho!
2) Erin
Gruwell
Erin Gruwell adalah seorang guru Bahasa
Inggris revolusioner asal Amerika Serikat. Erin pernah dapat tugas ngajar di
kelas sekelompok murid berandalan rasis berindeks prestasi rendah.
Soalnya, semua guru di SMA tempatnya mengajar udah pada nggak sanggup
ngebimbing anak-anak bebal berperangai buruk tersebut.
Ceritanya, murid-murid Erin itu nggak mau
duduk sama murid lain yang beda ras saat di sekolah karena secara psikologis
mereka merasa nggak aman. Soalnya, mereka sedang terjebak atau bahkan ikut
terlibat aktif dalam konflik geng antar ras yang terjadi di sekitar lingkungan rumah
mereka. Parahnya, hampir semua dari mereka nyaris jadi korban penembakan liar
di jalanan.
Mindset murid-murid Erin itu dipengaruhi oleh
kredo, yang lahir dari sejarah isu rasisme di Amerika Serikat berikut: “If
you’re white, you’re right. If you’re brown, you’re stick around. If you’re black,
you’re back.” Sejarahnya, orang kulit putih (Kaukasian) khususnya di bagian
selatan merasa superior dalam segala
hal. Orang kulit coklat (Hispanik) hanya dianggap makhluk kelas dua, yang stagnan alias hanya bisa jalan di
tempat. Sedangkan orang kulit hitam (Afro-Amerika) dianggap sebagai makhluk
berkasta rendah yang hanya pantas jadi budak. Nggak heran kalau prasangka rasial di kelas Erin itu juga sering memicu tawuran dan berpengaruh besar pada penurunan
prestasi akademik murid-muridnya di sekolah.
Akhirnya, Erin pun bertekad ngelurusin mindset murid-muridnya itu melalui jalur sastra dalam proyek yang dia beri nama The Freedom Writers Diary. Melalui proyek tersebut, dia nugasin semua muridnya buat baca buku harian (memoar) legendaris berjudul The Diary of a Young Girl karya Anne Frank, seorang gadis Yahudi yang sedang berada dalam kejaran Nazi Jerman. Kisah nyata karya Anne Frank itu udah sukses menginspirasi dunia, termasuk murid-murid Erin, agar bisa lebih bersikap manusiawi pada sesamanya apa pun golongan rasnya.
Makanya, Erin juga nyuruh murid-muridnya itu buat nulis reflective-diary secara reguler seperti yang
dilakuin oleh si Anne Frank. Mereka boleh nuangin segala keluh kesah mereka, termasuk kemarahan dan kebencian level kronis yang sedang menggerogoti hati mereka, ke dalam reflective-diary tersebut tanpa harus merasa takut di-judge negatif oleh orang lain. Reflective-diary tersebut harus dilaporin ke Erin secara berkala biar Erin bisa mahamin kondisi psikologis mereka, sekaligus biar bisa ngebantu mereka nemuin solusi terbaik buat nyelesesain masalah hidup mereka melalui dialektika.
Dari segi afektif dan psiko-motorik, tugas membaca karya
sastra disertai penulisan reflective-diary
itu akhirnya berhasil ngerubah mindset para murid rasis itu sehingga jadi SDM
yang secara praktis jauh lebih toleran dan mau ngehargain perbedaan, sedangkan dari segi
kognitif tugas itu berhasil naikin indeks prestasi akademik mereka di sekolah.
Secara holistik, Erin telah sukses ngarahin puluhan sampai ratusan anak didiknya itu buat jadi anggota masyarakat yang jauh lebih bermatabat dan bermanfaat, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi sesamanya.
Nggak heran kalau metode pengajaran Erin, yang awalnya dinilai terlalu kontroversial dan sempat diboikot oleh para guru karena dianggap nentang sistem sekolah, pada akhirnya dipatenkan oleh salah satu negara bagian di Amerika Serikat, lho! Saking inspiring-nya, kisah nyata inspiratif Erin Gruwell bersama murid-muridnya itu juga sampai diabadiin dalam buku memoar berjudul The Freedom Writers Diary: How a Teacher and 150 Teens Used Writing to Change the World around Them. Buku memoar tersebut akhirnya juga diangkat ke film layar lebar bertajuk Freedom Writers, lho!
3) Oprah
Winfrey
Oprah Winfrey adalah motivator Amerika
tajir yang sukses banget lewat TV show-nya,
The Oprah Winfrey Show. Dalam acara
itu, dia sering ngelakuin refleksi kehidupan melalui buku-buku yang pernah dia
baca. Dia senang banget ngulik beberapa paragraf penting dari buku-buku
favoritnya, lalu ngaitin paragraf-paragraf itu sama fenomena-fenomena unik yang
sedang jadi polemik di masyarakat atau sama pengalaman pribadinya sendiri.
Di salah satu episode, misalnya, Oprah
ngebahas novel sastra berjudul The Color
Purple karya Alice Walker, seorang penulis Afro-Amerika peraih penghargaan
sastra tertinggi - Pulitzer Award.
Novel itu bermakna banget bagi Oprah, yang sempat hidup di era saat sentimen rasisme pada orang kulit hitam masih kuat banget di daerah Mississipi. Selain itu, dia
juga pernah ngalamin pelecehan seksual dari relative-nya
sendiri seperti yang dialamin sama tokoh Celie dalam novel tersebut. Saat
remaja, dia juga sempat dihamili sama pacarnya di luar nikah. Naasnya,
kandungannya itu keguguran karena dia masih terlalu muda buat ngelewatin fase
kehamilan saat itu.
Pengalaman kelam tersebut ngebuat Oprah
ngalamin trauma psikologis. Nggak heran kalau dia ngerasa nggak bisa jadi sosok
orang tua yang baik dan bertanggung jawab. Mungkin karena alasan itu lah dia
nggak mau nikah dan nggak mau punya anak kandung seumur hidupnya.
Namun, kehadiran novel The Color Purple secara afektif dan psiko-motorik sukses nyembuhin dan
nge-merdekain jiwanya yang selama ini 'terluka'. Kata-kata tokoh Celie dalam
novel itu yang berbunyi, "Everything
you've done to me, already done to you." berhasil mencerahin cara
berpikir Oprah. Maksud dari kalimat itu adalah setiap perbuatan baik ataupun
buruk yang kita lakuin pada orang lain suatu saat akan kembali pada diri kita
sendiri.
Saking nge-fans-nya sama The Color
Purple, Oprah sampai-sampai beli novel itu sebanyak puluhan eksemplar saat
pertama kali diterbitin biar bisa dibagi-bagiin secara gratis pada orang-orang
di sekitarnya. Nggak tanggung-tanggung, dia juga sampai berjuang mati-matian
demi ikutan casting biar bisa meranin
karakter Celie saat novel best-selling
itu diangkat ke film layar lebar.
Dari proses refleksi sastra di atas,
secara kognitif Oprah akhirnya berhasil ngeformulasiin pola kehidupan melalui
analogi Hukum Newton 3 tentang kekekalan
energi dalam ilmu fisika, yang berbunyi: "For
every action, there is an opposite equal reaction." Sejak saat itu,
dia sering ngebagi formula kehidupan tersebut buat menginspirasi jutaan orang
Amerika di berbagai acara motivasi, biar mereka tetap semangat ngelakuin
kebaikan meskipun dunia sedang nggak berpihak sama mereka.
Nggak heran juga kalau sampai usia tua
Oprah makin getol jadi philantropist
(penderma sosial), baik di Amerika maupun di tanah leluhurnya, Afrika, melalui program Oprah's Angel Network. Meskipun
nggak punya anak kandung, dia udah ngadopsi banyak remaja cewek dari Afrika
biar mereka bisa ngerasain pendidikan di universitas-universitas top Amerika
semacam Harvard, Yale, Princeton, Stanford, dsb. Keren kan?
Dari ketiga contoh di
atas, bisa kita simpulin kalau baca karya sastra melalui metode reflective-reading itu bisa mencerahin
akal (kognitif), nguatin/nyembuhin
mental (afektif), sekaligus ngelecut
adrenalin/motivasi dalam diri manusia (psiko-motorik).
Emang sih nggak semua
orang bisa jadi dokter atau ilmuwan NASA jenius dengan hanya baca karya sastra
doang. Soalnya, yang namanya IQ (intelejensi) manusia itu termasuk perangkat alami
bawaan sejak lahir alias udah ditentuin sama Tuhan, sang penguasa alam semesta.
Tapi, tenang aja buat kita
yang terlahir dengan IQ pas-pasan. Kita tetap bisa ngeberdayain IQ bawaan kita
itu kok buat ningkatin keahlian berpikir kritis, kreatif, dan inovatif melalui reflective-reading, yang bisa kita
sesuain sama minat/bakat kita masing-masing. Dengan begitu, kita bisa nelurin
ide yang bisa bawa manfaat buat kehidupan pribadi, sosial, maupun profesional.
Syukur-syukur kalau dari proses refleksi itu kita bisa nemuin program Microsoft
seperti yang dilakuin Bill Gates meskipun nggak pernah kuliah formal sama
sekali.
Yang nggak kalah penting,
melalui reflective-reading kita bisa
ngembangin karakter sekaligus ngendaliin gejolak emosi kita yang sifatnya
dinamis banget ini. Meskipun kita nggak terlahir dengan IQ jenius, setidaknya
kita tetap bisa ngelatih sekaligus ningkatin kecerdasan sosial (SQ) dan
emosional (EQ) kita. Jadi, kita bisa jadi manusia yang lebih toleran dan penuh
belas kasih pada sesama manusia di dunia egosentris ini. Selain itu, kita juga
nggak bakalan gampang depresi, gila, atau bahkan sampai bunuh diri kalau
ekspektasi kita nggak sesuai dengan realita karena alur kehidupan ini memang
serba nggak pasti polanya. Bakalan percuma dong eksistensi kejeniusan manusia
dan kecanggihan teknologi di bumi ini kalau kualitas moral dan mental
penghuninya secara universal terdegradasi.
Dari analisa ketiga kasus
di atas, kami makin yakin kalau karya sastra punya manfaat besar buat
ngembangin potensi umat manusia kalau diformulasiin melalui digital reflective book story-telling. Sesuai dengan cluster ilmunya, humaniora berarti
ilmu kemanusiaan yang bervisi-misi buat majuin umat manusia, sehingga mereka
bisa ngecapai esensi tertinggi dari kemanusiaan itu sendiri. Oleh karena itu,
sebagai lulusan program studi sastra kami pengen berkontribusi aktif buat kemajuan peradaban
umat manusia melalui pendirian komunitas digital
rectlective book story-telling bernama Bookspectraz
pada platform weblog www.bookspectraz.org.
Formulasi nama Bookspectraz sendiri kebentuk dari
proses morfologis berjenis compounding
dan affixation antara kata 'book' (buku), 'spektra' (spektrum pelangi), ditambahi dengan akhiran huruf 'z' (tanda generasi milenial). Dengan
mengusung nama Bookspectraz, kami
berharap bisa jadi agen literasi yang
mampu ngebawa pencerahan buat umat manusia di era milenial berkekuatan digital ini.
Bookspectraz ngebangun markasnya di platform digital berformat weblog karena di era
globalisasi ini kebanyakan orang Indonesia udah punya akses internet, khususnya
di ponsel mereka. Jadi, mereka bisa ngakses informasi dari genggaman tangan
saja. Biaya buat baca weblog di internet juga jauh lebih murah daripada buat
ngakses video di YouTube atau buat beli satu buah buku. Menurut kami, weblog
adalah media digital paling efektif
dan efisien buat nyebarin ilmu pengetahuan.
Dari segi penyampaian,
konten weblog Bookspektraz sengaja
ditulis dalam bahasa colloquial (bahasa
populer) biar bisa lebih dekat dengan realitas kehidupan nyata orang Indonesia,
yang mayoritas bukan masyarakat ilmiah-akademis. Soalnya, Bookspectraz itu lebih mirip seperti 'universitas kehidupan', bukan 'universitas
skolastik-akademik'. Selain itu, target utama pembaca sekaligus story-teller komunitas ini adalah
remaja-dewasa berusia minimal 18 tahun. Jadi, nggak asyik dong kalau media
komunikasinya terlalu formal dan kaku.
Secara spesifik, bentuk
produk dari proses membaca karya sastra versi Bookspectraz cenderung lebih ngarah ke format reflective book story-telling daripada resensi ataupun kritik sastra (literary criticism). Reflective book story-telling ala Bookspectraz
lebih luwes dan sedikit berbeda dengan analisa/kritik sastra ala
universitas, yang cenderung bersifat akademis nan kaku. Reflective book story-telling adalah penceritaan ulang poin-poin
penting/unik/kontroversial dalam buku yang udah dibaca secara kronologis serta
dilengkapi dengan sebuah refleksi kehidupan dari sang pencerita (story-teller) di segmen re-orientasi-nya.
Dalam hal ini, substansi refleksi kehidupan pada reflective book story-telling versi Bookspectraz secara langsung dikaitin sama kehidupan nyata (e.g. pengalaman pribadi, fenomena nyata di sekitar), dan nggak dihubungin sama teori sastra. Dengan begitu, proses refleksi itu secara alami bisa lebih mudah menyugesti aspek kognitif, afektif, dan psiko-motorik dalam diri sang story-teller maupun para pembacanya melalui metode autonomous learning. Soalnya, proses refleksi tersebut nggak dibatasi atau nggak dikendaliin sama pemikiran/teori para pengkaji sastra seperti dalam theoretical framework pada penelitian ilmiah. Bukankah kajian 'substansi sastra' secara mendalam itu selalu bersifat 'subjektif-kualitatif'? Jadi, kebenaran analisanya selalu bernilai relatif meskipun bersifat ilmiah sekali pun.
Dalam kehidupan nyata, kita seharusnya ngelihat 'pengalaman pribadi' sebagai 'spektrum dimensi', yang patut diperhitungkan sebagai sebuah fakta/kebenaran. Pendapat tersebut senada dengan esensi kata-kata Samanta Booke, seorang lawyer, aktivis pejuang hak-hak sipil, sekaligus mantan debater legendaris Afro-Amerika, yang berhasil matahin argumen-argumen para scholars kulit putih Harvard University secara telak dalam sebuah lomba debat intelektual bertajuk 'Is Civil Disobedience an Anarchy in the Fight for Justice?' Argumen fenomenalnya, yang diabadiin dalam film biopic (kisah nyata) berjudul The Great Debaters itu berbunyi, "Majority do not decide what is right and wrong, but your conscience does. So, why should our citizens surrender his/her conscience to a legislator. We must never ever kneel down before the tyranny of a majority!"
Setelah lulus kuliah sastra, kami
berpendapat kalau jawaban dosen kami di kelas analisa sastra dulu nggak ada
yang 'absolut' atau 'mutlak' kebenarannya. Dengan kata lain, di luar konteks
akademis setiap penikmat sastra, baik yang bergelar sarjana sastra ataupun yang
nggak kuliah sama sekali, berhak dan bebas buat nganalisa/ngomentari esensi
karya sastra tanpa takut dinilai 'dangkal/ngawur/salah' oleh para peneliti
(akademisi) di bidang sastra. Toh, para peneliti sastra jarang banget yang
secara langsung dapat bocoran kunci jawaban dari para penulis karya sastra,
yang sedang mereka teliti itu.
Dengan kata lain, esensi karya sastra dalam reflective book story-telling versi
Bookspectraz itu nggak hanya sekedar jadi sebuah objek kajian studi
yang nggak bernyawa, tapi lebih daripada itu sastra juga bisa ngejelma
jadi seorang motivator, psikolog, sekaligus psikiater handal, yang mampu
ngembimbing sekaligus ngerubah cara berpikir dan bertindak para pembacanya,
seperti yang pernah dialamin sama si Benjamin Carson, Erin Gruwel, dan Oprah Winfrey.
Dari segi genre
buku, Bookspectraz nggak
ngebedain mana 'sastra serius' ala bangku kuliah dan mana 'sastra
populer' yang sedang jadi trend dan best-selling di pasaran
sana. Menurut Bookspectraz, semua jenis karya sastra itu setara dan
punya manfaat yang bisa ngejawab masalah sosial yang terjadi di masyarakat. Contohnya,
novel chicklit/teenlit, yang sering dipandang sebelah mata sama 'orang
sastra', sebenarnya banyak lho yang esensinya nggak kalah 'berbobot' sama
'sastra serius'. Topik-topik tentang pencarian jati diri seorang
remaja/wanita, per-bully-an di sekolah, perselingkuhan, perceraian, dan
kekerasan dalam rumah tangga juga penting kan buat dibahas. Soalnya, banyak
sekali remaja dan wanita dewasa yang ngalamin gangguan psikologis serius atau
bahkan berakhir bunuh diri saat dihadepin sama isu-isu tersebut.
Oleh karena
itu, Bookspectraz bakalan nerbitin reflective story-telling, baik
fiksi maupun non-fiksi dari genre 'sastra serius' dan 'sastra
populer', secara seimbang dan disesuain sama idealisme (ideologi) yang
diusung oleh Bookspectraz secara eksklusif. Secara spesifik, Bookspektraz
bakal ngebahas buku ber-genre memoar (biografi/autobiografi), psikologi populer (tips),
travelling (diary), fiksi inspirasi (family literature), fiksi ilmiah (STEM), fantasi (futuristik distopia), sastra psikologi (pzy-thriller),
sastra sos-pol-bud (sosial/politik/budaya), dan chicklit (metropop) setiap seminggu
sekali secara bergantian sesuai jadwal.
Jadwal update
dan diskusi reflective book story-telling di weblog Bookspectraz
(www.bookspectraz.org) adalah setiap hari Minggu jam 9 – 10 pagi. Biar para
followers aktif maupun pasif di dunia maya nggak ketinggalan update
mingguan-nya, Bookspectraz juga bakalan ngebagi tautan reflective
story-telling dari weblog melalui sosial media resminya, di antaranya, Facebook
Page: Bookspectraz (Digital Reflective Book Story~Telling Club),
Instagram: @bookspectraz, atau Twitter @Bookspectraz.
Secara umum, tujuan Bookspectraz ngeresepin reflective book story-telling pada masyarakat
adalah buat ngeharmonisin otak dan jiwa mereka biar bisa bersinergi secara
seimbang, sehingga mereka bisa lebih bersemangat positif, kuat, sehat, dan
cerdas buat ngejalanin kehidupan yang penuh liku terjal seperti para Gladers di novel fiksi ilmiah neurosains - The Maze Runners karya
James Dashner ini.
Kalau dari segi kognitif,
afektif, dan psiko-motorik manusia udah terpelihara dengan baik, mereka bakalan
lebih gampang ngelahirin ide-ide inovatif-kreatif buat nyelesain masalah
duniawi secara efektif dan efisien. Selain itu, otak mereka bakalan tersuntik
spektrum pelangi saat ngenilai fenomena-fenomena sosial, budaya, politik, yang
sedang terjadi di masyarakat. Dengan demikian, umat manusia bisa termotivasi
buat jadi SDM yang nggak gampang marah, ngehujat, ngutuk, atau yang paling
parah sampai nge-marjinalin dan ngebunuh orang lain saat terjadi polemik di
masyarakat. Padahal kita tahu kan kalau nggak ada satu pun manusia yang
sempurna di dunia ini. Jadi, kita perlu ngelihat bayangan abu-abu saat mau nge-judge orang lain pakai kacamata
hitam-putih.
Well, itu lah dasar formulasi pendirian komunitas digital reflective book-story telling bertajuk Bookspectraz ini. Jadi, bagi kalian yang sepemikiran sekaligus sevisi dan semisi dengan kami, jangan ragu buat jadi Kontributor Tamu Bookspectraz, baik sebagai Reflective Story-Teller (RST) maupun Insightful Commentator (IC) Bookspectraz. Setiap bulan, satu orang RST dan satu orang IC terbaik bakalan dapat Sertifikat Penghargaan Digital plus Doorprize Buku lho! Kalau kalian tertarik, silahkan meng-click tautan (link) biru berikut ini buat baca prosedur lengkap jadi Kontributor Tamu mingguan Bookspectraz 👉 (Link: Prosedur Jadi Kontributor Tamu Bookspectraz).
So, tunggu apa lagi? Ayo gabung sama kami! Mari bersinergi buat nyuksesin gerakan literasi di bumi pertiwi! Let's be the light for Indonesian minds in this century! 😘📚😘
Salam Literasi,
Bookspectraz